Senin, 21 November 2016

PANDANGAN MORAL EMIL DURKHEIM DITELAAH DARI SUDUT FILSAFAT PANCASILA

MAKALAH
PANDANGAN MORAL EMIL DURKHEIM DITELAAH DARI SUDUT FILSAFAT PANCASILA
Makalah ini dibuat untuk memenuhi mata kuliah Pendidikan dan Kewarganegaraan
Disusun oleh :
No.
Nama
NIM
1
Widhiyarini Pangestika
1610201190
2
Olivia Fernanda
1610201192
3
Sri Ajeng Rossalia Putri
1610201177
4
Riris Chintya Helieni Astuti
1610201171
5
Sifa Mega Elfira
1610201201
6
Aldinur
1610201221
7
Apriandi Hari Dwi Putra
1610201220
8
Reni Muhka
1610201187
9
Hendra Suu
1610201153
10
Agatha Mayang Permata
1610201168

PROGAM PENDIDIKAN ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ‘AISYIYAH YOGYAKARTA
2016/2017

KATA PENGANTAR
Alhamdulilah, segala puji bagi Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat, taufik, serta hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “ Pandangan Moral Emil Durkheim Ditelaah Dari Sudut Filsafat Pancasila” mata kuliah Pendidikan Kewarganegaraan.
Penulis menyadari bahwa didalam pembuatan makalah ini berkat bantuan dan tuntunan Tuhan Yang Maha Esa dan tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak untuk itu penulis mengucapkan rasa terima  kasih yang sebesar besarnya kepada semua pihak yang telah membantu pembuatan makalah ini.
            Tim penulis menyadari bahwa dalam proses penulisan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan baik materi maupun penulisannyan. Namun demikian Tim penulis telah berupaya dengan segala kemampuan dan pengetahuan yang di miliki sehingga dapat terselesaikan dengan baik. Oleh karena itu, tim penulis dengan tangan terbuka menerima masukan, saran dan usul yang bersifat membangun guna menyempurnakan makalah  ini. Penulis berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca .

                                                                                    Penyusun,









DAFTAR ISI

I.                   HALAMAN JUDUL
II.                KATA PENGANTAR
III.             DAFTAR ISI
IV.             BAB I PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang………………………………………………………1
1.2  Rumusan Masalah…………………………………………………...2
1.3  Tujuan Penulisan…………………………………………………….2
V.                BAB II PEMBAHASAN
2.1 Masyarakat Durkheim ………………………………………………3
2.2 Pandangan Durkheim Tentang Masyarakat dan Kenyataan Sosial….5
2.3  Moral Dalam Filsafat Durkheim……………………………………..7
2.4  Hal yang terkandung dalam Pancasila……………………………….9
VI.             BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan…………………………………………………………..12

DAFTAR PUSTAKA




BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Bahasa Indonesia telah menentukan filsafat hidupnya, yaitu pancasila. Bagaimana ajaran Emile Durkheim ditelaah dari sudut pancasila ?
Notonegoro (1976) menunjukkan dalam definisinya tentang manusia, bahwa manusia merupakan makhluk monopluralistik. Ditekankan adanya sifat dasar taqwa dan Percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Drijarkara (1971) menunjukkan dengan jelas keterbatasan manusia. Dengan sifat keterbatasan inilah detekannkan bahwa manusia bukan sumber terjadinya, sumber terjadinya adalah Tuhan Yang Maha Esa.
David Emile Durkheim yang lahir tanggal 15 April 1858dan meninggal pada tahun 1917 merupakan filsuf moral yang sangat tangguh. Dasar kecerdasan otak yang gemilang dilanjutkan dalam pendidikan tinggi membentuk dirinya menjadi filsuf yang ulung. Menurut Lukes : “….the hot house atmosphere of the, cole did everything  to encourage a view of politics from a high plane of principle”. (Lukes 1973).
Suasana akademik yang bertingkat sangat tinggi yang meliputi, cole itu, dengan mahasiswa-mahasiswa pilihan, membangkitkan jiwa Durkheim secara penuh, untuk aktif berdiskusi, mengajukan argumentasi – argumentasi yang bernada politik, moral dan filsafat. Pandangannya tentang moral dari sudut telaah pancasila akan ditampilkan dalam tulisan ini.
Masyarakat dalam bahasa Inggris artinya society yang pengertiannya mencakup interaksi sosial, perubahan sosial, dan rasa kebersamaan. Istilah masyarakat juga disebut dengan sistem sosial. menurut sosiolog yang bernama Emile Durkheim, masyarakat adalah suatu kenyataan objektif individu-individu yang merupakan anggota-anggotanya. Maksudnya yaitu adanya ikatan sosial dalam kelompok. Masyarakat juga berarti kelompok manusia yang hidupnya teratur. Masyarakat termasuk sosial order atau keteraturan sosial.


1.2  Rumusan Masalah

1.2.1        Apa itu Masyarakat Durkheim ?
1.2.2        Apa pandangan Durkheim tentang masyarakat dan kenyataan sosial ?
1.2.3        Apa moral dalam filsafat Durkheim ?
1.2.4        Apa saja yang terkandung dalam pancasila ?

1.3  Tujuan Penulisan
1.3.1        Untuk mengetahui apa arti masyarakat Durkheim
1.3.2        Untuk Mengetahui pandangan Durkheim tentang masyarakat dan kenyataan sosial
1.3.3        Untuk mengetahui moral dalam filsafat Durkheim
1.3.4        Untuk mengetahui hal yang terkandung dalam Pancasila





















BAB II
PEMBAHASAN
            2.1 Masyarakat Durkheim
Masyarakat dalam bahasa Inggris artinya society yang pengertiannya mencakup interaksi sosial, perubahan sosial, dan rasa kebersamaan. Istilah masyarakat juga disebut dengan sistem sosial. menurut sosiolog yang bernama Emile Durkheim, masyarakat adalah suatu kenyataan objektif individu-individu yang merupakan anggota-anggotanya. Maksudnya yaitu adanya ikatan sosial dalam kelompok. Masyarakat juga berarti kelompok manusia yang hidupnya teratur. Masyarakat termasuk sosial order atau keteraturan sosial. Syarat-syarat terbentuknya masyarakat adalah sejumlah manusia yang hidup bersama dalam waktu yang relatif lama, merupakan satu kesatuan dan merupakan suatu sistem hidup bersama, yaitu hidup bersama yang menimbulkan kebudayaan dimana setiap anggota masyarakat merasa dirinya masing-masing terikat dengan kelompoknya. Didalam masyarakat tidak selalu ada kesamaan tetapi ada sesuatu diluar kita yang membuat kita best
Beberapa faktor yang mendorong adanya manusia yang teratur itu adalah kesamaan. Dalam ikatan terdapat sesuatu yang dinamakan dengan solidaritas. Solidaritas secara etimologi adalah kesetiakawanan atau kekompakkan. Jadi solidaritas adalah rasa kebersamaan dalam suatu kelompok tertentu yang menyangkut tentang kesetiakawanan dalam mencapai tujuan dan keinginan yang sama. Pembagian solidaritas dalam kelompok sosial dapat diklasifikasikan dengan pandangan-pandangan tertentu, salah satunya kelompok sosial diklasifikasikan menuut rasa solidaritas antar anggotanya. Sehingga secara umum, solidaritas dapat dibagi menjadi dua, yaitu solidaritas mekanik dan solidaritas organik. Sosial itu berasal dari individu yang berarti individu tersebut saling bekerja sama. masyarakat mempunyai solidaritas sosial yaitu biasa disebut dengan ikatan kesamaan.
Solidaritas mekanik adalah solidaritas yang muncul pada masyarakat yang masih sederhana dan diikat oleh kesadaran kolektif serta belum mengenal adanya pembagian kerja diantara para anggota kelompok. Biasanya disebut dengan masyarakat pedesaan, karena masyarakat pedesaan identik dengan kesamaan. Adanya kesamaan artinya keberadaan orang lain itu sangat menguatkan. Ikatan mekanik adalah suatu integrasi yang didorong oleh kesamaan. Ikatan mekanik merupakan ritualitas sangat penting untuk keagamaan. Tetapi ikatan sosial perempuan itu lebih kuat daripada laki-laki. Masyarakat dinyatakan gagal, jika tidak ada keteraturan secara kolektivitas. Masyarakata menuntut adanya kesamaan. Ikatan mekanik muncul karena keberadaan yang lain itu menguatkan dan integrasinya didorong oleh kesamaan. Dalam membangun konsep fakta sosial, Durkheim menerapkannya dalam mempelajari gejala bunuh diri, yang bersifat terpisah dari arena psikologis dan filsafat. Durkheim berpendapat bahwa gejala bunuh diri terjadi karena adanya fakta sosial sehingga menyebabkan perbedaan rata-rata bunuh diri.
Menurut penelitian Durkheim, rata-rata orang melakukan bunuh diri disebabkan oleh status diri yang hiudup sendiri, seperti janda. Selain itu, angka bunuh diri juga dipengaruhi oleh kepemilikan anak, di mana menurut penelitiannya, orang yang tidak punya anak cenderung untuk melakukan bunuh diri dari pada orang yang tidak memiliki orang tua.
Ciri-ciri masyarakat dalam solidaritas mekanik adalah yang pertama adanya keteraturan, keteraturan dalam ikatan mekanik merupakan ikatan kesamaan yang segmentis yaitu artinya terbatas. Ikatan mekanik juga muncul kesadaran baru yaitu biasa disebut dengan konsisten yang artinya memaksa diri sendiri. Yang kedua adalah hukum represif, dalam artian tidak bisa dipaksa oleh diri yaitu sama dengan kelompok kita. Order adalah keteraturan yang berarti suatu ketaatan yang membutuhkan kesadaran moral dari setiap individu-individu. Dalam ikatan mekanik, order dan kesadaran moral ini sangat penting dan mendukung sekali. Kemudian yang ketiga adalah dipaksa (penal law). Ciri-ciri solidaritas mekanik adalah solidaritas yang merujuk kepada ikatan sosial yang dibangun atas kesamaan, kepercayaan dan adat bersama. Disebut dengan mekanik itu karena orang yang hidup dalam unit keluarga suku atau kota relatif dapat berdiri sendiri dan juga memenuhi semua kebutuhan hidup tanpa tergantung pada kelompok-kelompok lain.
Solidaritas organik adalah solidaritas yang mengikat masyarakat yang sudah kompleks dan telah mengenal pembagian kerja yang teratur sehingga disatukan oleh saling ketergantungan antar anggota. Biasanya terdapat pada masyarakat perkotaan. Yang artinya suatu keberadaan. Solidaritas organik itu masing-masing bagian mempunyai fungsi dan fungsinya tersebut sangat berpengaruh penting. Solidaritas organik terjadi karena masing-masing memunculkan adanya suatu perbedaan. Tetapi perbedaan tersebut saling berinteraksi dan membentuk suatu ikatan yang sifatnya tergantung. Solidaritas organik prinsipnya yaitu bahwa setiap individu dan individu lain itu sangat tergantung dalam artian tidak bisa lepas. Dalam solidaritas organik mengenal adanya hukum restifusi yang artinya yaitu menggantikan. Ciri-ciri solidaritas organik adalah menguraikan tatanan sosial berdasarkan perbedaan individual diantara rakyat, yang merupakan ciri dari masyarakat modern, khususnya yaitu daerah perkotaan. Bersandar pada pembagian kerja yang rumit dan didalamnya orang terspesialisasi dalam pekerjaan yang berbeda-beda. Dalam pembagian kerja yang rumit ini, Emile Durkheim melihat adanya kebebasan yang lebih besar untuk semua masyarakat.
Solidaritas mekanik dan solidaritas organik mempunyai berbagai macam perbedaan diantaranya yaitu, solidaritas mekanik, relatif berdiri sendiri (tidak bergantung kepada orang lain) dalam keefisienan kerja, terjadi di masyarakat sederhana, primitif, dan tradisional, merupakan ciri dari masyarakat tradisional, kerja tidak terorganisir, beban lebih berat, individualis rendah, dan represif yaitu tidak bisa dipaksa diri. Sedangkan solidaritas organik adalah saling berkaitan dan mempengaruhi dalam keefesienan kerja, dilangsungkan oleh masyarakat yang kompleks, ciri dari masyarakat modern atau perkotaan, kerja terorganisir dengan baik, beban ringan, individualis tinggi, dan adanya
2.2 Pandangan Durkheim Tentang Masyarakat dan Kenyataan Sosial
Durkheim melihat masyarakat sebagai wadah yang paling sempurna bagi kehidupan bersama antara manusia, sesuatu yang berada diatas segala galanya. Ia bersifat menentukan dalam perkembangannya. Hal-hal yang paling dalam pada jiwa manusia pun berada di luar diri manusia sebagai individu, misalnya kepercayaan keagamaan, kategori alam piker, kehendak, bahkan hasrat bunuh diri. Hal-hal tersebut bersifat sosial dan terletak dalam masyarakat.
Masyarakat adalah satu realitas bersifat suigeneris , memiliki cirri-ciri khusus yang tidak dapat ada (diketemukan) samaannya diseluruh maya pada ini. Untuk mengerti “masyarakat” yang dimaksud oleh Durkheim dan peranannya yang dimainkan dalam menganalisis tindakan-tindakan kemanusiaan, orang harus melepaskan dari pengertian absatrak dan orang harus lebih melihatnya dari penggunaan perspektif masyarakat itu.
Kenyataan sosial adalah sesuatu yang mencakup seluruh rangkaian kenyataan. “Suatu kenyataan sosial adalah setiap cara bertindak yang ditentukan maupun tidak, yang memiliki kemampuan menguasai individu dengan tekanan eksternal, atau setiap cara bertindak yang umum diseluruh masyarakat tertentu, namun pada saat yang sama berada mandiri bukan dari manifestasi individualnya.
“Social Facts is every way of acting fixed or not, capable of exercising on the individual an external constraint” ; or again, every way of acting which is general throughout a given society, while at the same time existing in its own right independent of its individual manifestations”. (Durkheim, 1964)
Kenyataan sosial atau fakta yang dimaksud Durkheim diatas, terjadi hanya dalam satu kehidupan bersama yang lebih bersifat komunitas bukan societas saja (Nisbet, 1966). Komunitas yang dimaksud disini merupakan sesuatu yang berada jauh diluar artian lokal. Dalam artian abad ke 19 dan 20, ia meliputi segala bentuk hubungan yang ditandai oleh tingkat keakraban yang sangat tinggi, kedalaman emosi, komitmen moral, kohesi sosial dan kesinambungan waktu. Komunitas dibangun atas dasar manusia dalam keutuhannya bukan peranan-peranannya yang terpisah-pisah yang ia mainkan dalam tatanan kehidupan bersama.
Komunitas di tangan Durkheim merupakan kerangka analisis yang hal-hal seperti moralitas, hubunga, kontrak, religi, dan bahkan sifat alamiah pikiran manusia mendapatkan pengertian dan dimensi baru. Ide komunitas telah berubah kedudukan, dari sekedar satu kolektivitas dan satu sifat bentuk hubungan antara manusia, ia menjadi alat untuk menganalisis pikir dan tingkah laku.
Masyarakat merupakan sumber dan dasar segala-galanya yang di dalamnya individu sama sekali tidak mempunyai arti dan kedudukan, hal-hal seperti : kejahatan, sakit jiwa, kesusilaan, kompetisi, ekonomi, undang-undang dan sebagainya, semuanya diterangkan berdasarkan prioritas masyarakat.
2.3  Moral dalam filsafat Durkheim
Dalam filsafat Durkheim, moral memiliki peranan terpenting. Kekangan atau wewenang yang dilaksanakan oleh kesadaran kolektif jelas terlihat dalam bidang moral. Sesungguhnya fakta-fakta moral itu ada, tetapi ia hanya hidup dalam konteks social. “Biarkanlah kehidupan social itu hilang dan musnah jualah kehidupan itu bersama dia” (Lukes, 1973).
Dalam bukunya moral Education Durkheim menandaskan :
            “ But if there is one fact that history has irrefutably demonstrated it is that the morality of each people is directly related to the social structure of the people, given the general character of the morality observed in a given society, and barring abnormal and phatological cases, one can infer the nature of that society, the elements of its structure and the way it is organized. Tell me the marriage patterns, the morale dominating family life, and I will tell you the principle characteristics of is organization”.(Durkheim 1973).
            Moralitas dalam segala bentuknya tidak dapat hidup kembali kecuali dalam masyarakat. Ia takkan berubah kecuali dalam hubungannya dengan kondisi-kondisi social. Dengan kata lain, moralitas tidak bersumber pada individu, melainkan bersumber dalam masyarakat dan merupakan gejala masyarakat. Moral masyarakat berkuasa pada individu. Dalam artian kewajiban misalnya, yang berbicara adalah suara masyarakat dalam arti masyarakatlah yang menentukan segala peraturan-peraturan kehidupan itu berlaku.
     Selanjutnya menurut Durkheim, moralitas memiliki tiga unsure yang menentukan. (Durkheim, 1973).

1.      Disiplin.
     Semua sikap dan tindakan social adalah penyesuaian dengan aturan-aturan yang ada. Bersikap dan bertindak susila adalah sama dengan mengikuti dan tunduk patuh pada aturan-aturan. Bidang (domain) kesusilaan ini adalah bidang kewajiban yang sudah tertentu secara tradisional. Apakah sumber unsure yang bersifat prescriptive ini ?. Ia adalah masyarakat. Melalui tatakrama keluarga , agama dan ekonomi, ikatan tradisi dan kelompok, masyarakat adalah satu-satunya badan yang memiliki wewenang mutlak yang berhak memberi kepada sesuatu yang patut, yang seharusnya (ought), diperbuat oleh manusia. Manusia yang tidak berdisiplin adalah tidak lengkap kesusilaannya. Disini Durkheim menekankan pada sifat tetap dari moral. Ada beberapa cara untuk bertindak yang seolah-olah secara teratur menentukan sesuatu dalam menghadapi keadaan tertentu. Adalah suatu keharusan bahwa setiap kehidupan bersama terikat pada keteraturan ini. Namun, menurut Durkheim sifat moral yang tetap ini tidaklah bersifat beku, ataupun tidak dapat berubah. Disiplin berubah sesuai dengan sifat alamiah manusia, yang berubah menurut waktu dalam arti lebih aktif, lebih kaya. Cakrawala intelektual dan moral manusia selalu meluas. Kehidupan bersama selalu berkembang, karena itu moral haruslah cukup fleksibel untuk ikut maju. Ia tidak boleh berada diluar atau diatas jangkauan kritik, ia harus tanggap terhadap kritik dan refleksi, yang menurut Durkheim merupakan sarana bagi suatu perubahan. Dalam hal ini aturan-aturan lama yang tidak sesuai telah diganti dan orang harus lebih waspada akan timbulnya degenerasi dan anarkhi.

2.      Sifat keterikatan pada kelompok
Disiplin saja tidak cukup. Agar supaya disiplin dapat mempunyai arti ia harus mempunyai tujuan akhir. Ada beberapa tujuan tertentu yang memberi persifatan moral kepada tindakan-tindakan manusia. Tindakan-tindakan yang selalu tertuju pada keuntungan pribadi, tidaklah memiliki tujuan pribadi serta berada diatas tujuan individual, itulah yang bersifat moral.
Tindakan moral hanyalah tindakan yang ditujukan kepada kepentingan kehidupan bersama. Moral baru mulai kalau ia sudah berada dalam suatu kelompok manusia, bagaimanapun bentuk kelompok itu. Karena manusia baru dapat dikatakan lengkap jika ia sudah menjadi anggota kelompok, maka kesusilaan baru lengkap kalau si manusia itu sudah merasa dipersamakan dalam kelompok tempat ia terlibat. Dengan kata lain kita baru merupak makhluk social. Dan hanya ada satu makhluk moral yaitu ia yang memiliki kepribadian kolektif. Durkheim menunjukkan bahwa masyarakat terdiri atas beberapa kelompok : keluarga, perkumpulan-perkumpulan, partai, tanah air dan kemanusiaan. Karena dalam keseluruhan kehidupan kolektif kelompok ini tidak sama penting nya., maka nilai moral merekapun berbeda. Tujuan utama tingkah laku moral adalah kehidupan politik atau tanah air, tetapi dalam artian murni kemanusiaan. Jadi bukan diartikan sebagai kekuasaan, penjajahan atau perluasan koloni-koloni, melainkan suatu masyarakat yang perdamaian dan keadilannya berkuasa dan penderitaan individu dapat diperkecil dan ditanggulangi. Durkheim menghadapkan “amal” yang dibangkitkan oleh gereja dengan persoalan-persoalan kemasyarakatan solidaritas terhadap seksama atau amal antar individu pada dirinya sendiri hanyalah memiliki nilai mor tidak langsung. Seorang individu tidak akan mampu mengadakan perubahan sosial, hal ini dapat terjadi kalau individu-individu bersatu membentuk satu kekuatan yang kolektif.
3.      otonomi kehendak manusia
       Mmencakup pengertian moral dan artinya sebagai proses sekularisasi dan kemajuan rasionalisme. Kesadaran moral selalu menolak ketergantungan ini dan menuntut akan kebebasan otonomi individu yang lebih mantap. Semakin besar pengertian manusia tentang moral tentang sebab dan fungsinya semakin bebaslah ia dan akan tunduk pada peraturan moral itu.
Ketiga unsure diatas saling terkait dan menunjukkan bahwa titik berat terletak pada masyarakat dan daya piker manusia. Seorang dianggap tidak susila apabila tindakan yang ia lakukan merugikan orang lain.
2.4  Hal yang terkandung dalam Pancasila

1.      Sila I. Ketuhanan Yang Maha Esa
Rumusan sila ini mengandung konsep monotheisme . Yaitu kepercayaan kepada tuhan yang satu.  Seluruh bangsa mendasarkan konsepnya kepada Tuhan Yang Maha Satu.  Seluruh bangsa mendasarkan moralnya pada kepercayaan ini, yaitu bahwa manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa.
Manusia Indonesia terlahir religius. Dalam jiwanya hadir suatu kerinduan dalam sesuatu yang sempurna yang memberinya hidup dan melindunginya. Pada masa sebelum Islam dan Kristen masuk ke Indonesia telah berdiri perguruan keagamaan Hindu dan Buddha. Merupakan kenyataan bahwa kepercayaan kepada yang esa telah ada saat itu. Kedua agama bahkan diterima dengan damai di Indonesia
            Keadilan yang menjiwai semangat kemanusiaan didasarkan pada upaya untuk saling membantu agar dapat saling berkembang perkembangan kemanusiaan ini menuju kepada suatu taraf kemanusiaan yang beradab. 
Dalam konteks Sila I dan Sila II semua perguruan agama mendidik dan menanamkan nilai" moral kedalam jiwa rakyat berdasarkan keyakinan bahwa Tuhan Yang Maha Esa itu ada.
2.      Sila II. Kemanusiaan yang adil dan beradab
Sila ini menempatkan manusia ditempat yang sentral. Kata adil dan beradab menunjukan bahwa manusia diciptakan sama. Dalam konteks sila I dan sila II merupakan penjabaran Budi manusia makhluk hidup ciptaan Tuhan yang paling sempurna yang berdasarkan kedudukan kodratnya tergantung pada sang pencipta.
3.      Sila III. Persatuan Indonesia
Mensyukuri karunia tuhan kepada bangsa Indonesia yang berujud beribu pulau,  berpenduduk uang terdiri atas berbagai suku dan berkemampuan berbahasa yang beragam, semangat Bhineka Tunggal Ika benar-benar bermakna sangat dalam.  Dalam konteks ini rakyat Indonesia sadar akan tujuanya untuk bersatu nilai-nilai kemanusiaan yaitu persamaan, keadilan, toleransi saling mengasihi, dan solidaritas terjaga. Dalam hidupnya manusia ditugaskan untuk berbuat adil,membangun, membina, dan mengolah serta mengembangkan alam. Sejak masih kanak-kanak manusia sudah diajarkan untuk memikirkan orang lain. Keadilan tidaklah diukur dengan hak dan kewajiban saja. Keadilan yang menjiwai semangat kemanusiaan didasarkan pada upaya untuk saling membantu agar dapat saling berkembang.
4.      Sila ke 4, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan.
       Sila ini mengandung cita-cita kefilsafatan yaitu kerakyatan, demokrasi dan musyawarah. Siapa yang mampu bermusyawarah ialah manusia-manusia yang berkemampuan menghormati dan mengakui keberadaan sesama manusia. Makhluk yang mampu mengobyektivikasi, yaitu menyadari diri dan menyadari adanya objek, dan menyadari diri sebagai anggota satu bangsa.
       Sila kerakyatan, sebagai bawaan dari persatuan dan kesatuan semua sila, mewujudkan penjelmaan dari tiga sila yang mendahuluinya dan merupakan dasar dari sila ke lima. Oleh karena dalam tiga sila yang mendahuluinya terkandung asas-asas hidup kerohanian, sila kerakyatan itu demikian pula keadaannya. Makna yang terkandung dalam hal ini berkaitan dengan sila pertama. Kerakyatan mendasarkan dirinya pada kepercayaan adanya Tuhan Yang Satu.
5.      Sila ke 5, Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
       Keadilan yang termaksud dalam sila ini, sesuai dengan sifat manusia yang adil seperti yang terkandung dalam Sila II. Kita ingat tulisan Soedjatmoko (1984) tentang agama, yang di maksud disini agama Wahyu, dalam kaitan suatu bangsa yang sedang membangun :
       ".....di dalam suatu masyarakat yang sedang membangun, agama ternyata merupakan suatu unsur yang tidak dapat di abaikan, yang tidak cukup dihadapi secara taktis dan manipulatif, agama perlu di nilai dan di perlukan sebagai suatu sumber Otonom yang penting didalam dinamik bangsa dan masyarakat. Tidak cukup dia dilihat sebagai fenomena sosial historis semata-mata, tidak cukup potensi dinamik sosialnya dinilai dari luar saja, perlu juga untuk itu dia dilihat, dan diselami dari dalam, dari lubuk hati iman." Hal ini menunjukan kebenaran bahwa setiap sila dalam Pancasila, tak mungkin dapat dipisahkan satu dari yang lain. Sila I tetap merupakan sila yang mengikatnya. Dari sini tampak bagaimana moral keadilan sosial adalah moral yang berketuhanan, bukan sekedar moral sosial.

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
       Ajaran moral yang diajukan Durkheim menunjukkan bahwa Durkheim yakin moral Yang luhur adalah dasar mutlak bagi kehidupan antar manusia yang sejahtera. Durkheim juga merupakan pendukung pendidikan ilmiah yang tangguh.
       Bangsa Indonesia telah memutuskan untuk melaksanakan pembangunan menyeluruh yang meliputi moral, spritual dan fisik manusia seutuhnya. Dalam Pancasila segi-segi ini dicerminkan dengan sangat jelas. Yang penting adalah dasar-dasar yang diberikan oleh Sila I. Kedudukan kodrat manusia yaitu manusia berdiri sendiri dan pada saat yang sama merupakan mahkluk Tuhan diyakini oleh seluruh rakyat Indonesia.
       Durkheim mengandalkan moralnya pada masyarakat dan semuanya harus dapat di pertanggung jawabkan secara ilmiah. Hal inilah yang harus kita waspadai. Karena pemikiran sedemikian ini membuka kemungkinan penciptaan sesuatu suasana kehidupan yang tidak seimbang. Jikalau bagi pembangunan hanya di buat rencana-rencana ilmiah teknis dan organisatoris saja, akan ada kemungkinan bahwa negara dan rakyat akan tergelincir ke dalam keadaan yang beku, ketat, tertutup, tanpa ada keterbukaan lagi bagi hal-hal yang lebih sesuai dengan kemanusiaan.










DAFTAR PUSTAKA

Drijarkara, Prof. Dr. SJ., 1971, Pantjasila dan Religi, Mencari Kepribadian Nasional,
Surabaya
Durkheim, E., 1973, Moral Education, Translated by Everett K. Wilson and Herman
Schnurer from : L’Education Morale, 1925. Collier Macmillan Publishers, London.
Durkheim, E., 1977, Over Moraliteit, Terjemahan K.L. van der Leeuw, dari judul:
Determination du fait Moral, 1906. Boom Meppel, Amsterdam.
Durkheim 1974, Sociology and Philosophy, Translated D. F. Pocock, A Division of
Macmillan Publishing Inc., New York.
Durkheim, 1964, The Division of Labor in Society, The Free Press, New York. Translated by
G. Simpson; from: De Ia division du trayailsocial. Alcan, Paris.
Franz Magnis-Suseno, 1988, Kuasa dan Moral, Gramedia Jakarta.
Ellul, J., 1984, The Technological Society, Translated from the French by John Wilkinson,
with an introduction by Robert K. Merton. Vintage Books.
Koento Wibisono, 1982, Arti Perkembangan menurut Pandangan Filsafat Positivisme August
Comte, Disertasi. University Press, Yogyakarta.
Lukes, Steven, 1973, Emile Durkheim, His Life and Work: A historical Study, Penguin
Books.
Nisbet, Robert A., 1966, The Sociological Tradition, Heinemann, London.
Notonegoro, 1986, Pancasila Secara Ilmiah Populer, Pancuran Tujuh, Jakarta. 
Soedjatmoko, 1983, Dimensi Manusia dalam Pembangunan, Lembaga Penelitian, Pendidikan
dan Penerangan Ekonomi dan Sosial, Jakarta.
Soedjatmoko, 1984, Etika Pembebasan: Pilihan Karangan tentang Agama, Kebudayaan,
Sejarah dan Ilmu Pengetahuan, LP3ES, Jakarta.












Tidak ada komentar:

Posting Komentar